Kaum Awam

Kaum Awam

1. Arti Kata “Awam”

Dalam praktik istilah awam dipakai dalam dua arti. Secara teologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Dalam arti ini, kata itu meliputi biarawan yang tidak ditahbiskan (bdk. LG 43). Secara tipologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan (bdk. LG 1).

Pengertian tipologis dapat ditemukan misalnya dalam KHK kan. 204 § 1 yang kiranya mengambil alih rumusan LG 31, “Orang-orang beriman Kristen ialah mereka yang oleh pembaptisan menjadi anggota-anggota Tubuh Kristus, dijadikan Umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam jabatan Kristus sebagai imam, nabi, dan raja dan oleh karena itu sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing dipanggil menjalankan pengutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia.”

Perlu diperhatikan bahwa definisi “awam” itu dipakai untuk orang beriman pada umumnya. Ini hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila ada landasan yang sama untuk semua orang beriman. Dan memang demikian halnya. Maka dari itu harus dikatakan bahwa awam pertama-tama adalah orang beriman Kristen. Tetapi dalam KHK kan. 204 § 1 sudah diselipkan faktor perbedaan yakni “sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing” yang menggantikan rumusan “untuk bagian masing-masing” atau “sesuai dengan peranan masing-masing” dari LG 1. Demikian juga mengenai partisipasi dalam jabatan Kristus sebagai imam, nabi, dan raja ada tambahan “dengan caranya sendiri”. Keterangan ini dapat ditafsirkan sebagai tanda kekhawatiran kalau-kalau semua disamaratakan, tetapi dapat juga dimaksudkan sebagai catatan yang mendahului pembahasan perbedaan yang masih akan disinggung.

Pengertian teologis dapat dibaca pada KHK kan. 207 sebagai berikut:

“Oleh penetapan ilahi, di antara orang-orang beriman Kristen dalam Gereja terdapat pelayan-pelayan rohani yang dalam hukum juga disebut kaum rohaniwan; sedangkan lain-lainnya juga disebut kaum awam.”

Teks ini menunjukkan adanya ketidaksamaan fungsional dalam kesamaan serta kebersamaan fundamental yang tidak dikurangi olehnya. Ketidaksamaan itu berdasarkan sakramen tahbisan, sedangkan kesamaan serta kebersamaan berdasarkan sakramen baptis. Sekaligus sebutan “rohaniwan” dan “awam” direlatifkan atau dilunakkan dengan tambahan kata “juga”. Kita dapat merasakan bahwa yang pokok ialah sebutan kaum beriman Kristen bagi semua warga Umat Allah yang mempunyai landasan bersama yang sama dalam pembaptisan. Tetapi memang ada sekelompok orang beriman yang ditahbisan untuk pelayanan, dan mereka ini lazimnya disebut rohaniwan, sedangkan lain-lainnya kalau mau dapat disebut awam.

Ciri-ciri khas positif lebih lanjut untuk pengertian “awam” tidak diberikan dalam kanon-kanon itu. Dari Konsili Vatikan II (LG 31) dapat dilihat bahwa ciri keduniaan merupakan kekhususan awam dalam arti tipologis. Dan hal ini diandaikan dalam ketentuan KHK kan. 225 § 2: tugas awam meresapi tata dunia dengan semangat Injil.

2. Identitas Kaum Awam

Identitas awam harus dilihat dalam konteks identitas Gereja sendiri. Maka dari itu tidaklah cukup pembicaraan hanya berpijak pada tentang awam, melainkan perlu diperhatikan keseluruhan susunan Kontitusi Dogmatis tentang Gereja itu dan langsung menempatkan pembahasan identitas awam dalam keseluruhan ajaran tentang Gereja itu, agar Gereja dilihat sebagai kesatuan. Dengan kata lain, tentang awam dalam Lumen Gentium harus ditinjau dari tentang Gereja sebagai misteri dan tentang Gereja sebagai Umat Allah.

Dengan istilah “awam” dimaksudkan semua orang beriman Kristen yang tidak termasuk golongan tahbisan suci dan status kebiaraan yang diakui dalam Gereja. Mereka adalah orang-orang yang dengan pembaptisan menjadi anggota-anggota Tubuh Kristus, dijadikan Umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja, dan karena itu sesuai dengan peranan mereka menjalankan perutusan seluruh umat Kristen dalam Gereja dan dunia.

Bagi kaum awam ciri keduniaan adalah khas dan khusus. Tanggung jawab kaum awamlah – berdasarkan panggilan khas mereka – mencari Kerajaan Allah dengan mengurus hal-ikhwal keduniaan dan mengaturnya menurut kehendak Allah … ” (LG 1; bdk. GS 4). Berkaitan dengan kesatuan dengan seluruh umat Allah harus diingat:

• Keanggotaan dalam Umat Allah sebagai unsur positif kesamaan dan kebersamaan.

Hal ini bukanlah hanya salah satu unsur di samping unsur-unsur lainnya, melainkan gagasan pokok yang harus disadari terus-menerus sebagai dasar dan konteks untuk dan dalam membahas unsur-unsur lainnya. Ini berarti bahwa segala kekayaan yang diutarakan dalam mengenai ‘Misteri Gereja‘ dan terutama mengenai ‘Umat Allah‘ sama-sama dimaksudkan untuk awam, seperti secara eksplisit (LG 30). Demikian pula tentang panggilan semua orang menjadi kudus, panggilan kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih (LG 40) berlaku sepenuhnya bagi kaum awam. Dengan kata lain, sesuai dengan konsep pembahasan identitas awam dalam konteks identitas Gereja sendiri dan kesamaan dan kebersamaan fundamental semua anggota Gereja, apa yang berlaku bagi Gereja, berlaku bagi awam yang adalah anggota Gereja.

• Secara negatif-restriktif awam dapat didefinisikan sebagai “bukan rohaniwan dan bukan biarawan”.

Dengan unsur kesamaan dan kebersamaan sebagai latar belakang, kini ditampilkan kekhususan awam dengan rumusan restriktif/negatif ganda. Sebenarnya cara demikian ini tidak aneh dan dapat dipahami sebagai langkah pertama dalam proses melukiskan identitas kaum awam dengan bertitik tolak dari kenyataan adanya tiga kelompok (klerus, biarawan, dan “lain-lainnya”), asalkan pembatasan negatif ini tidak dilihat tersendiri. Pembatasan negatif itu tidaklah melulu negatif, dan dapat membantu pemahaman identitas awam. Karena ada unsur tertentu dalam pemahaman identitas awam, maka patut disinggung sebentar.

• Tidak termasuk klerus.

Sebagian anggota Gereja berdasarkan jabatannya (imamat jabatan) termasuk klerus. Sebagian besar yang lain tidak ditahbisan dan tidak mengemban jabatan imamat khusus. Mereka hanya mempunyai imamat umum kaum beriman dan termasuk kaum awam. Konsili menegaskan bahwa antara imamat jabatan dan imamat kaum beriman ada perbedaan hakiki tidak hanya gradual, meskipun keduanya saling berkaitan (LG 10). Meskipun demikian dalam cahaya kesamaan dan kebersamaan fundamental semua anggota Gereja, perbedaan antara imam dan awam lebih bersifat fungsional, meskipun dalam perkembangan sejarah, karena pengaruh faktor-faktor sosiokultural dan politik, perbedaan itu dipertajam menjadi penggolongan dengan status sendiri-sendiri yang berbeda kelas juga.

Pembatasan negatif antara kaum awam dan klerus diperjelas dengan deskripsi tugas klerus yang diperuntukkan bagi pelayan suci, tidak untuk urusan keduniaan, meskipun kadang-kadang klerus dapat juga menjalankan profesi keduniaan. “Sebab para anggota tahbisan suci, meskipun kadang-kadang dapat berkecimpung dalam urusan keduniaan, juga dengan melaksanakan profesi keduniaan, berdasarkan panggilan khususnya, terutama dan ex professo, diperuntukkan bagi pelayanan suci” (LG 31). Dalam langkah berikutnya dinyatakan bahwa awamlah yang mempunyai tugas khusus bagi penjiwaan Kristiani urusan keduniaan,

• Tidak termasuk kalangan kebiaraan.

Menurut klasifikasi semua anggota Gereja yang tidak termasuk kalangan tahbisan adalah awam, termasuk para biarawan-biarawati. Maka pembatasan negatif antara awam yang biarawan dan awam yang bukan biarawan harus memakai kriteria lain. Faktor pembedaan dilihat dalam kondisi dan tata kehidupan status kebiaraan yang dengan caranya sendiri menuju kekudusan (LG 13) atau status kehidupan yang memberikan kesaksian unggul dan luhur bahwa dunia tak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah tanpa semangat sabda bahagia (LG 31).

Perbedaan antara biarawan dan awam sebenarnya tidak terlalu besar. Kaul-kaul kebiaraan ditafsirkan sebagai pengembangan rahmat pembaptisan dan memberi alasan khusus dan baru untuk panggilan menuju kesempurnaan yang sudah termuat dalam pembaptisan (LG 44).

Previous Post Next Post