Uskup itu pemimpin Gereja lokal, tetapi ia jarang kelihatan di tengah-tengah umat. Tampaknya uskup seorang “administrator” saja. Sebelum Konsili Vatikan II banyak orang berpendapat bahwa dengan tahbisan imam seseorang sudah menerima kepenuhan imamat, sedangkan tahbisan uskup sebetulnya hanya upacara administratif saja. Ajaran Konsili Vatikan II lain: “Konsili suci mengajarkan, bahwa dengan tahbisan uskup diterimakan kepenuhan sakramen imamat, yakni yang disebut imamat tertinggi, keseluruhan pelayanan suci” (LG 21). Kepenuhan imamat tidak diberikan dengan tahbisan imam, tetapi dengan tahbisan uskup.
Anggapan (umum) bahwa tahbisan imam sudah berarti kepenuhan imamat, berhubungan dengan pandangan yang melihat tugas imam melulu dalam kaitan dengan Ekaristi (dan sakramen tobat). Seorang imam dipandang orang yang diberi kuasa mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dan mengampuni dosa. Pandangan salah ini mempunyai dasar dalam ajaran Konsili Trente, yang menegaskan tugas sakramental imam dalam jawabannya terhadap ajaran Protestan. Oleh karena Trente hanya mau menanggapi ajaran Reformasi, maka juga hanya menyebut hal-hal yang dipersoalkan oleh Reformasi.
Ajaran Trente tidak lengkap. Oleh karena itu Konsili Vatikan II melengkapi ajaran Trente dengan mengajarkan bahwa tugas pokok uskup [dan imam] adalah kepemimpinan. Tugas itu kemudian dijabarkan dalam tiga tugas khusus. Yang pertama tugas pewartaan, selanjutnya bidang sakramen, dan akhirnya seluruh kehidupan jemaat. Kecuali itu, dengan mengikuti Kitab Suci, Konsili Vatikan II dengan menekankan tugas kepemimpinan juga menegaskan fungsi uskup sebagai pemimpin yang sesungguhnya dan mengajarkan bahwa para imam merupakan pembantunya.
Uskup sekarang jarang tampil di tengah-tengah umat. Ini berhubungan dengan “ukuran” keuskupan. Zaman dahulu, sampai abad ke-6, sebuah keuskupan tidak lebih besar daripada yang sekarang disebut paroki. Seorang uskup dapat disebut “pastor kepala” pada zaman itu, dan imam-imam “pastor pembantu”. Lama kelamaan para pastor pembantu mendapat daerahnya sendiri, khususnya di pedesaan. Makin lama daerah-daerah keuskupan makin besar. Dengan demikian, para uskup semakin diserap oleh tugas organisasi dan administrasi. Tetapi semua itu sebetulnya tidak menyangkut tugasnya sendiri sebagai uskup, melainkan cara melaksanakannya.
Dengan perkembangan itu para imam makin menjadi wakil uskup. “Di masing-masing jemaat setempat dalam arti tertentu mereka menghadirkan uskup. Para imam dipanggil melayani umat Allah sebagai pembantu arif bagi badan para uskup, sebagai penolong dan organ mereka” (LG 28). Tugas konkret mereka sama seperti uskup: “Mereka ditahbiskan untuk mewartakan Injil serta menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi”. Bagi mereka juga berlaku bahwa “umat Allah pertama-tama dihimpun oleh sabda Allah yang hidup.
Maka para imam sebagai rekan-rekan sekerja para uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang” (PO 4). Baru kemudian disebut tugas liturgis dan organisatoris (PO 5; 6), sebab “termasuk tugas para imam sebagai pembina iman, mengusahakan supaya orang beriman masing-masing dibimbing dalam Roh Kudus guna menghayati panggilannya sendiri menurut Injil, secara aktif mengamalkan cinta kasih yang jujur, dan hidup dalam kebebasan yang dikaruniakan oleh Kristus” (PO 6).
“Semua imam adalah pembantu uskup dan mengambil bagian dalam tugas membangun jemaat. Tetapi tugas membantu uskup dalam kepemimpinan keuskupan secara khusus dipercayakan kepada dewan imam yang merupakan suatu senat uskup dan sekaligus mewakili para imam dalam suatu keuskupan” (KHK kan. 495).
Konsili Vatikan II mengakhiri uraiannya mengenai hierarki dengan para diakon: “Pada tingkat hierarki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan ‘bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan’ (LG 29). Mereka juga pembantu uskup, tetapi tidak mewakilinya. Para uskup mempunyai dua macam pembantu: pembantu umum (disebut imam) dan pembantu khusus (disebut diakon). Bisa juga dikatakan bahwa diakon “pembantu dengan tugas terbatas”. Oleh karena itu dia ada “pada tingkat hierarki yang lebih rendah”. Diakon juga anggota hierarki, oleh karena itu mengambil bagian dalam tugas kepemimpinan.
Hanya saja agak sulit mengkhususkan tugas itu. Dalam organisasi Gereja sekarang ini semua tugas itu sudah dilakukan oleh imam atau oleh awam. Maka tidak ada banyak orang yang ditahbiskan menjadi diakon. Hanya karena dikatakan bahwa “diakonat dapat diterimakan kepada pria yang sudah berkeluarga”, maka kadang-kadang ada orang ditahbiskan menjadi diakon untuk tugas gerejawi. Banyak tugas itu dijalankan oleh awam tidak-tertahbis. Maka, karena kekurangan imam ada kalanya ditahbiskan orang menjadi diakon, dengan tugas terbatas.
“Kardinal bukan tingkatan atau fungsi khusus dalam kerangka hierarki, Seorang kardinal adalah uskup yang diberi tugas dan wewenang memilih paus baru, bila ada seorang paus meninggal. Karena paus adalah uskup Roma, maka paus baru sebetulnya dipilih oleh pastor-pastor kota Roma, khususnya oleh pastor-pastor dari gereja-gereja “utama” (= cardinalis).
Karena tugas dan wewenang paus tidak lagi pertama-tama terkaitkan dengan urusan keuskupan Roma saja, maka yang memilihnya juga bukan lagi pastor-pastor kota Roma. Dewasa ini para kardinal dipilih dari uskup-uskup seluruh dunia. Lama-kelamaan para kardinal juga berfungsi sebagai penasihat paus, bahkan fungsi kardinal menjadi suatu jabatan kehormatan. Para kardinal diangkat oleh paus. Sejak abad ke-13 warna pakaian khas adalah merah lembayung.